Jumat, 16 November 2012

Cerpen: Dia dan Aku

Apakah kalian percaya dengan perkataan “benci jadi cinta”? Bagiku, aku sangat percaya dengan perkataan tersebut. Oh iya hampir ku lupa menjelaskan siapa diriku. Aku adalah Yuki, umur 15 tahun dan seorang siswa biasa. Sampai suatu ketika, aku menemukan belahan hatiku yang dipisahkan dariku sejak lahir, dan memicu serangkaian rentetan peristiwa yang tidak akan dihadapi siswa biasa.
Pagi, 17 Januari 2012. Pagi itu aku menjalani kehidupanku sebagai seorang siswa biasa, bangun pagi, sarapan dan pergi ke sekolah. Tapi semua itu akan segera berubah ketika tanpa kusadari aku menyalakan sebuah pemicu yang mengakibatkan kehidupanku berubah 180 derajat. Yaitu sikap benci yang aku pancarkan kepada seorang anak perempuan pindahan dari sekolah di provinsi lain.
Silvia namanya. Ia terlihat seperti seorang anak perempuan biasa. Kulitnya putih seperti seorang bayi yang baru lahir. Mukanya menampakan ekspresi lugu. Ditambah dengan rambut hitamnya yang terurai panjang selayaknya perempuan biasa. Badannya setinggi perempuan pada umumnya. Tapi seperti kata orang kita tidak bisa menilai orang dari sampulnya saja. Siapa yang tahu bahwa dibalik penampilannya yang lugu tersembunyi rahasia yang bisa membuat siswa seumuranku merinding.
“Selamat pagi anak-anak, hari ini kita kedatangan teman baru.” Ujar wali kelasku Pak Eric, yang juga teman dekatku serta kakak seperguruan di suatu perguruan bela diri terkenal di kotaku.
“Selamat pagi namaku Silvia, salam kenal.” Suaranya benar-benar dingin sampai membangunkanku yang sedang tertidur.
“Siapa dia, murid baru ya?” Seruku pada teman yang berada di depanku.
“Iya dia anak baru, pindahan dari provinsi luar.”
“Oh..... tidak bisakah dia memperkenalkan diri dengan nada yang lebih imut?” kataku sambil menggaruk kepala.
Tiba-tiba melayang sebuah penghapus papan tepat mengenai kepalaku.
“Aduh, siapa yang berani melempar penghapus ke kepalaku?” teriakku dengan keras.
Satu kelasku hening sampai Pak Eric memecah keheningan tersebut.
“Kalau bapak yang melempar kenapa?” katanya sambil memasang muka tersenyum marah.
“Ah... tidak pak tadi saya hanya bercanda saja kok haha.” Langsung kutarik perkataanku karena aku sangat takut dengan Pak Eric.
“Bagus, lain kali hargai orang yang berbicara di depan.” kata Pak Eric.
“Silvia sekarang kamu duduk di bangku kosong di sebelah Yuki.”kata Pak Eric pada Silvia.
Silvia pun duduk disebelahku. Aku yang terbawa marah karena menurutku salahnya dia aku dimarahi Pak Eric. Segeralah aku membuang muka ketika dia dekat denganku dan begitu juga yang dilakukannya.
Ya, tanpa aku dan dia sadari pertemuan itu adalah awal perputaran roda takdir antara kami berdua. Hubunganku dengannya sama seperti kucing dan anjing. Sampai pada hari itu, titik balik hubungan kami berdua. Hari sebelum pembukaan festival tahun baru.
Hari itu kami sekelas merencanakan untuk membuka stand saat festival tahun baru. Aku dan anak laki-laki lain bertugas memasang dekorasi, dan anak perempuan serta Silvia bertugas membantu anak laki-laki. Lalu Pak Eric bertugas sebagai pengawas kegiatan kami.
“Silvia tolong ambilkan palu tersebut.” Kata seorang temanku.
“Baiklah tunggu sebentar.” Seru Silvia kepada temanku.
Pada saat itu mukanya terlihat pucat seperti kurang darah, tapi ia memaksakan untuk mengambil palu yang berada di kelas kami, satu lantai diatas tempat kami berada. Beberapa saat setelah itu dia terlihat kembali di dekat tangga. Jalannya sempoyongan dan memegang kepalanya. Dugaanku ternyata benar memang ia sedang tidak sehat. Dugaanku terbukti, tidak beberapa lama dia terjatuh dan hampir terguling.
“Awas, Silvia!” Teriakku, sambil berusaha menggapainya dan melindunginya agar tidak terjatuh.
Aku berhasil menggapainya, tapi apa daya akupun kehilangan keseimbangan juga dan ikut terjatuh. Beruntung refleksku sudah terlatih, segera aku berguling untuk mengurangi luka akibat benturan dengan anak tangga.
“Adu..du..duh, kamu tidak apa-apa Silvia?” seruku padanya.
Kepalanya tersandar diatas dadaku, sambil matanya tertutup ketakutan. Pada saat itu pertama kalinya melihat dia begitu cantiknya.
“Hei..... apa yang terjadi disini?” Pak Eric berlari dengan muka cemas, lalu melihatku yang tertimpa Silvia.
“Ah... pak ini tidak seperti yang bapak lihat. Dia jatuh, saya berusaha menolong, tapi jatuh dan akhirnya seperti ini.” Bela diriku pada Pak Eric.
 “Bapak tidak percaya, kamu pasti bohong!” Ujar Pak Eric.
“Serius pak, ngapain coba saya bohong sama bapak!” seruku dengan keras.
“U,,um trims Yuki, apakah kau terluka? So..sorry ya.” Ujar Silvia setelah ia terbangun.
“Pak Eric, tadi yang dikatakan Yuki benar pak.” Seru Silvia dengan suara lemah.
“Oh... kalau begitu baiklah, maafkan bapak ya Yuki.” Kata Pak Eric kepadaku.
“Ah... tidak apa-apa pak, teman apa yang kadang tidak menyusahkan.” seruku sambil tersenyum.
“Ya sudah sekarang kalian berdua ke ruang UKS dulu untuk diobati.”
Aku dan Silvia beranjak berdiri, dan saling berhadapan tapi entah kenapa jantung kami berdua serasa memompa darah kami naik ke kepala semua dan tidak dapat berkata apa-apa pada satu sama lain.
“Waduh... sepertinya di kelas kita akan bertambah pasangan baru nih haha.” Seru Pak Eric.
“Pak Eric jangan ngawur dong kalo ngomong!” seru kami berdua secara bersamaan.
Aku yang kaget langsung menghadap kepada Silvia begitu juga dengannya, dan muka kami berdua semakin memerah.
“Pak sepertinya saya izin pulang saja agar bisa beristirahat lebih, karena sepertinya kondisi saya makin parah.” Ujar Silvia sambil memegang kepalanya.
“Ya sudah. Yuki kamu antar Silvia ya.” ucap Pak Eric padaku.
“Pak, jangan ngawur deh pak.” Seruku pada Pak Eric.
“Kagak kok, bapak serius.” Ujar Pak Eric.
“Kesempatannya gunakan sebaik-baiknya ya Yuki.” bisik Pak Eric.
Mukaku langsung memerah lagi.
“Bapak tinggal dulu ya!” ujar Pak Eric sambil berjalan pergi,
Kami berdua ditinggal Pak Eric. Mau tidak mau aku harus mengantar Silvia pulang. Dalam perjalanan aku dan Silvia berbincang-bincang. Ternyata dia enak ketika diajak berbincang-bincang. Tapi perbincangan damai kami tiba-tiba terhenti ketika kami dikepung oleh segerombol geng preman.
“Serahkan perempuan itu!” seru mereka sambil langsung mencengkram tangan Silvia.
“Lepaskan tangan dia!” seruku pada mereka.
Tiba-tiba sebuah tinju dengan tenaga sekuat kuda menghajarku hingga jatuh.
“Anak kecil jangan berlagak sok heroik. Sampah sepertimu tidak akan bisa melawan kami geng preman kelas kakap, setan putih haha!”
“Yuki... tolong aku!” teriak Silvia tak berdaya.
Mendengar teriakannya, inginku menolongnya, tapi tinju tersebut menghajarku tepat di dakaku membuat aku sesak nafas dan tidak bisa bangun. Aku hanya bisa melihat Silvia dibawa pergi oleh orang-oorang itu. Tidak lama setelah itu datang Pak Eric.
“Kau kenapa Yuki? Dimana Silvia?” sambil membantuku bangun.
“tadi kami diserang sekelompok preman bernama setan putih.” Aku menjelaskan kepada Pak Eric seraya mengambil air minum yang dibawanya.
“Tch... ternyata benar rumor yang bapak dengar.” ujar Pak Eric.
“Maksud bapak apa?” tanyaku penasaran.
“Rumor yang bapak dengar bahwa di dunia bawah bahwa ada seorang perempuan muda dengan rambut hitam terurai panjang berseragam sekolah kita membasmi geng-geng preman dan dia sedang dicara oleh geng preman setan putih untuk dibunuh.”
“Dan maksud bapak perempuan itu Silvia?” tanyaku makin penasaran.
“Kemungkinan besar iya.” Kata Pak Eric sambil mencoba menyangkal kenyataan.
Lalu dimanakah markas setan putih itu pak?” tanyaku pada Pak Eric
“Di ujung jalan Vongola. Yuki kamu tidak bermaksud menyerbu sendiri markas mereka kan?” jawab Pak Eric dengan sedikit khawatir.
“Pak, saya telah ditugaskan oleh bapak untuk mengantar Silvia pulang dengan selamat. Kalau saya tak menyelamatkannya, saya akan malu mengakui diri saya seorang pendekar karena tidak bisa menyelamatkan seorang gadis!”
“Sekali bapak bilang tidak ya tidak!” bentak Pak Eric dengan marah.
Aku yang kaget langsung terdiam.
“Baiklah saya tidak akan kesana.” Seruku sambil berjalan mendekati Pak Eric.
“Maafkan saya pak.”
“Maksud..argh” belum selesai perkataan Pak Eric, tinju kerasku melayang tepat ke perutnya.
“Saya pasti akan kembali selamat dengan Silvia.” Seruku sambil berlari meninggalkan Pak Eric.
Aku terus berlari sekuat tenaga. Perasaan takut terus muncul dari benakku. Takut akan kehilangan Silvia, dan takut karena aku harus melawan gerombolan preman agar bisa menyelamatkannya.
Akhirnya tibalah diriku di tempat yang dimaksud Pak Eric. Ku dengar teriakan menjerit ketakutan suara seorang perempuan yang tak asing yaitu Silvia. Segera ku menerjang masuk ke dalam. Aku disambut dengan tiga orang yang siap menyerangku. Segera kusambut kembali mereka dengan tendangan tepat di kepala. Serangan tersebut cukup efektif. Mereka semua terkapar jatuh. Kudatangi seorang dari mereka yang masih sadar.
“Dimana perempuan itu!?” tanyaku dengan nada marah.
“Sa-sa-saya tidak tahu...” jawabnya ketakutan.
“Dimana!” bentakku lebih keras lagi.
“Di-dia disekap di ruang utama.”
Segera setelah ku mengetahuinya aku berlari menerjang ke ruang utama.
“Yuki...” seru Silvia tak berdaya tangannya terikat digantung.
“Silvia! Tenang aku akan segera menolongmu.” Seruku sambil berlari.
Walau perasaanku merasa aneh karena tidak ada yang menjaga. Perasaan itu terjawab. Segera dari kegelapan muncul sesosok pria yang menyerangku dengan stungun. Lagi-lagi aku kalah pintar dari mereka. Kali ini tidak mungkin ada ampun bagiku dari mereka ketika aku melihat raut muka mereka. Aku takut, apakah aku akan mati disini tidak bisa menyelamatkan seorang perempuan.
 “Sekarang matilah kau anak ingusan!” kata pria tersebut sambil mengarahkan pistol dari kantungnya ke kepalaku.
“Trang...” tiba-tiba terdengar suara 2 benda bertabrakan memecah keheningan. Suara itu tak lain tak bukan adalah bunyi tabrakan pistol tadi dengan sebuah batu berukuran kira-kira sebesar satu kepal tangan.
“Siapa tadi yang berani melempar!?” teriak pria tersebut.
Terlihatlah sesosok bayangan seorang pria berdiri. Dia tak lain tak bukan Pak Eric.
“Yo... Yuki, lama tak jumpa!”
“Pak... Eric, anda tidak apa-apa?”
“Kamu pikir pukulan seperti itu bisa membuatku pingsan ?”
“Eric! Beraninya, beraninya kau menggangguku!” teriak pria tersebut.
“Yo David. Lama tak jumpa. Kali ini akan kuhancurkan lagi kelompokmu, karena telah melukai murid-muridku!”
“Coba saja kalau kau bisa! Pasukan!” teriak David, memanggil pasukannya.
“Yuki tangkap! Kau lawan David, aku akan menghabisi bawahannya!” seru Pak Eric sambil melempar pedang kayuku kearahku.
“Ya, aku juga punya dendam padanya karena telah berani melukai Silvia!”
“anak ingusan dan guru sampah coba saja kalau kau bisa!” teriak David.
“Osu! Mari kita selesaikan pertarungan ini!” teriakku dan Pak Eric.
Aku langsung berlari menyerang David, begitu juga dengan Pak Eric. Pertempuran kami berlangsung kurang lebih lima menit.
“Tch... anak ingusan kau jago juga. Siapa namamu? Akan kukenang namamu sebelum kau kubunuh!” kata David padaku.
“Aku tak berniat untuk memberikan namaku pada seorang penjahat dan juga tak berniat untuk mati!” teriakku.
“Kalau begitu matilah kau anak ingusan!” seru David padaku.
“Tidak akan bisa!” teriakku sambil berlari bersiap menusuknya.
“Dorr...”,”Jleb” terdengar suara tembakan dan bunyi tusukan pedang.
Aku terjatuh tak berdaya. Pedang kayuku tepat menusuk ke ulu hati David. Begitu pula peluru David tertembak ke arah saku kemejaku.
Pak Eric yang baru saja melepaskan ikatan Silvia segera berlari ke arahku dengan Silvia.
“Oi Yuki, Yuki!” teriak Pak Eric.
“Yuki, kamu jangan mati!” teriak Silvia sambil menangis.
Mendengar suara mereka aku terbangun dari tidurku. Aku merogoh saku kemejaku dan menemukan sebuah koin yang menahan tembakan peluru David.
“Huff... koin penyelamat haha.” seruku.
“Yuki, kau selamat.” Isak Silvia sambil memelukku.
“Ya, aku selamat.” Kataku padanya.
“”Tolong jangan tinggalkan aku lagi.” Katanya sambil menangis terisak-isak.
“Iya aku janji tidak akan meninggalkanmu.” kataku padanya.
“Ehm...” suara Pak Eric memecah suasana tersebut.
“Er... pak maksud saya bukan begini eh begitu.” bela Silvia, sambil cepat-cepat melepaskan pelukannya dariku dan mukanya memerah.
Diriku dan Silvia saling menatap satu sama lain. Kami saling terdiam lalu tiba-tiba tertawa. Pak Eric tersenyum melihat kami berdua.
Hari itu 30 Desember 2013 berakhir begitu saja dengan nyawaku yang nyaris hilang dua kali. Tapi perasaan dan ingatan kami pada hari itu selalu kami ingat sampai sekarang.
Hari ini tanggal 17 Januari 2014. Aku bangun pagi. Menjalani kehidupanku seperti biasa seorang siswa SMA kelas 3, dan juga sebagai seorang “Twin Dragon” sebutanku serta Silvia setelah menghancur leburkan geng preman Setan Putih.
“Yo Silvia!” seruku ketika melihat Silvia.
“Pagi Yuki!” salam balik dari Silvia padaku.
“Jalan bareng yuk ke sekolah!” ajakku pada Silvia sambil memegang tangannya.
Lalu kami berdua terus berjalan bersama, menangis bersama, tertawa bersama sampai maut memisahkan kami berdua.

Tamat

Thanks atas ide penamaan yang diberikan oleh seseorang ^.^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar