Apakah kalian percaya dengan perkataan “benci jadi
cinta”? Bagiku, aku sangat percaya dengan perkataan tersebut. Oh iya hampir ku
lupa menjelaskan siapa diriku. Aku adalah Yuki, umur 15 tahun dan seorang
siswa biasa. Sampai suatu ketika, aku menemukan belahan hatiku yang dipisahkan
dariku sejak lahir, dan memicu serangkaian rentetan peristiwa yang tidak akan
dihadapi siswa biasa.
Pagi, 17 Januari 2012. Pagi itu aku menjalani
kehidupanku sebagai seorang siswa biasa, bangun pagi, sarapan dan pergi ke
sekolah. Tapi semua itu akan segera berubah ketika tanpa kusadari aku
menyalakan sebuah pemicu yang mengakibatkan kehidupanku berubah 180 derajat.
Yaitu sikap benci yang aku pancarkan kepada seorang anak perempuan pindahan
dari sekolah di provinsi lain.
Silvia namanya. Ia terlihat seperti seorang anak perempuan biasa. Kulitnya putih
seperti seorang bayi yang baru lahir. Mukanya menampakan ekspresi lugu.
Ditambah dengan rambut hitamnya yang terurai panjang selayaknya perempuan
biasa. Badannya setinggi perempuan
pada umumnya. Tapi seperti kata orang kita tidak bisa menilai
orang dari sampulnya saja. Siapa yang tahu bahwa dibalik penampilannya yang
lugu tersembunyi rahasia yang bisa membuat siswa seumuranku merinding.
“Selamat pagi
anak-anak, hari ini kita kedatangan teman baru.” Ujar wali kelasku Pak Eric,
yang juga teman dekatku serta kakak seperguruan di suatu perguruan bela diri
terkenal di kotaku.
“Selamat pagi
namaku Silvia, salam kenal.” Suaranya benar-benar dingin sampai membangunkanku
yang sedang tertidur.
“Siapa dia, murid
baru ya?” Seruku pada teman yang berada di depanku.
“Iya dia anak
baru, pindahan dari provinsi luar.”
“Oh..... tidak
bisakah dia memperkenalkan diri dengan nada yang lebih imut?” kataku sambil
menggaruk kepala.
Tiba-tiba melayang
sebuah penghapus papan tepat mengenai kepalaku.
“Aduh, siapa yang
berani melempar penghapus ke kepalaku?” teriakku dengan keras.
Satu kelasku
hening sampai Pak Eric memecah keheningan tersebut.
“Kalau bapak yang
melempar kenapa?” katanya sambil memasang muka tersenyum marah.
“Ah... tidak pak
tadi saya hanya bercanda saja kok haha.” Langsung kutarik perkataanku karena
aku sangat takut dengan Pak Eric.
“Bagus, lain kali
hargai orang yang berbicara di depan.” kata Pak Eric.
“Silvia sekarang
kamu duduk di bangku kosong di sebelah Yuki.”kata Pak Eric pada Silvia.
Silvia pun duduk
disebelahku. Aku yang terbawa marah karena menurutku salahnya dia aku dimarahi
Pak Eric. Segeralah aku membuang muka ketika dia dekat denganku dan begitu juga
yang dilakukannya.
Ya, tanpa aku dan
dia sadari pertemuan itu adalah awal perputaran roda takdir antara kami berdua.
Hubunganku dengannya sama seperti kucing dan anjing. Sampai pada hari itu,
titik balik hubungan kami berdua. Hari sebelum pembukaan festival tahun baru.
Hari itu kami
sekelas merencanakan untuk membuka stand saat festival tahun baru. Aku dan anak
laki-laki lain bertugas memasang dekorasi, dan anak perempuan serta Silvia
bertugas membantu anak laki-laki. Lalu Pak Eric bertugas sebagai pengawas
kegiatan kami.
“Silvia tolong
ambilkan palu tersebut.” Kata seorang temanku.
“Baiklah tunggu
sebentar.” Seru Silvia kepada temanku.
Pada saat itu
mukanya terlihat pucat seperti kurang darah, tapi ia memaksakan untuk mengambil
palu yang berada di kelas kami, satu lantai diatas tempat kami berada. Beberapa
saat setelah itu dia terlihat kembali di dekat tangga. Jalannya sempoyongan dan
memegang kepalanya. Dugaanku ternyata benar memang ia sedang tidak sehat.
Dugaanku terbukti, tidak beberapa lama dia terjatuh dan hampir terguling.
“Awas, Silvia!”
Teriakku, sambil berusaha menggapainya dan melindunginya agar tidak terjatuh.
Aku berhasil
menggapainya, tapi apa daya akupun kehilangan keseimbangan juga dan ikut
terjatuh. Beruntung refleksku sudah terlatih, segera aku berguling untuk
mengurangi luka akibat benturan dengan anak tangga.
“Adu..du..duh,
kamu tidak apa-apa Silvia?” seruku padanya.
Kepalanya
tersandar diatas dadaku, sambil matanya tertutup ketakutan. Pada saat itu
pertama kalinya melihat dia begitu cantiknya.
“Hei..... apa yang
terjadi disini?” Pak Eric berlari dengan muka cemas, lalu melihatku yang
tertimpa Silvia.
“Ah... pak ini
tidak seperti yang bapak lihat. Dia jatuh, saya berusaha menolong, tapi jatuh
dan akhirnya seperti ini.” Bela diriku pada Pak Eric.
“Bapak tidak percaya, kamu pasti bohong!” Ujar
Pak Eric.
“Serius pak,
ngapain coba saya bohong sama bapak!” seruku dengan keras.
“U,,um trims Yuki,
apakah kau terluka? So..sorry ya.” Ujar Silvia setelah ia terbangun.
“Pak Eric, tadi
yang dikatakan Yuki benar pak.” Seru Silvia dengan suara lemah.
“Oh... kalau
begitu baiklah, maafkan bapak ya Yuki.” Kata Pak Eric kepadaku.
“Ah... tidak
apa-apa pak, teman apa yang kadang tidak menyusahkan.” seruku sambil tersenyum.
“Ya sudah sekarang
kalian berdua ke ruang UKS dulu untuk diobati.”
Aku dan Silvia
beranjak berdiri, dan saling berhadapan tapi entah kenapa jantung kami berdua
serasa memompa darah kami naik ke kepala semua dan tidak dapat berkata apa-apa
pada satu sama lain.
“Waduh...
sepertinya di kelas kita akan bertambah pasangan baru nih haha.” Seru Pak Eric.
“Pak Eric jangan
ngawur dong kalo ngomong!” seru kami berdua secara bersamaan.
Aku yang kaget
langsung menghadap kepada Silvia begitu juga dengannya, dan muka kami berdua
semakin memerah.
“Pak sepertinya
saya izin pulang saja agar bisa beristirahat lebih, karena sepertinya kondisi
saya makin parah.” Ujar Silvia sambil memegang kepalanya.
“Ya sudah. Yuki
kamu antar Silvia ya.” ucap Pak Eric padaku.
“Pak, jangan
ngawur deh pak.” Seruku pada Pak Eric.
“Kagak kok, bapak
serius.” Ujar Pak Eric.
“Kesempatannya
gunakan sebaik-baiknya ya Yuki.” bisik Pak Eric.
Mukaku langsung
memerah lagi.
“Bapak tinggal
dulu ya!” ujar Pak Eric sambil berjalan pergi,
Kami berdua
ditinggal Pak Eric. Mau tidak mau aku harus mengantar Silvia pulang. Dalam
perjalanan aku dan Silvia berbincang-bincang. Ternyata dia enak ketika diajak
berbincang-bincang. Tapi perbincangan damai kami tiba-tiba terhenti ketika kami
dikepung oleh segerombol geng preman.
“Serahkan
perempuan itu!” seru mereka sambil langsung mencengkram tangan Silvia.
“Lepaskan tangan
dia!” seruku pada mereka.
Tiba-tiba sebuah
tinju dengan tenaga sekuat kuda menghajarku hingga jatuh.
“Anak kecil jangan
berlagak sok heroik. Sampah sepertimu tidak akan bisa melawan kami geng preman
kelas kakap, setan putih haha!”
“Yuki... tolong
aku!” teriak Silvia tak berdaya.
Mendengar
teriakannya, inginku menolongnya, tapi tinju tersebut menghajarku tepat di
dakaku membuat aku sesak nafas dan tidak bisa bangun. Aku hanya bisa melihat Silvia
dibawa pergi oleh orang-oorang itu. Tidak lama setelah itu datang Pak Eric.
“Kau kenapa Yuki?
Dimana Silvia?” sambil membantuku bangun.
“tadi kami
diserang sekelompok preman bernama setan putih.” Aku menjelaskan kepada Pak Eric
seraya mengambil air minum yang dibawanya.
“Tch... ternyata
benar rumor yang bapak dengar.” ujar Pak Eric.
“Maksud bapak apa?”
tanyaku penasaran.
“Rumor yang bapak
dengar bahwa di dunia bawah bahwa ada seorang perempuan muda dengan rambut
hitam terurai panjang berseragam sekolah kita membasmi geng-geng preman dan dia
sedang dicara oleh geng preman setan putih untuk dibunuh.”
“Dan maksud bapak
perempuan itu Silvia?” tanyaku makin penasaran.
“Kemungkinan besar
iya.” Kata Pak Eric sambil mencoba menyangkal kenyataan.
“ Lalu dimanakah markas setan putih itu pak?”
tanyaku pada Pak Eric
“Di ujung jalan
Vongola. Yuki kamu tidak bermaksud menyerbu sendiri markas mereka kan?” jawab
Pak Eric dengan sedikit khawatir.
“Pak, saya telah
ditugaskan oleh bapak untuk mengantar Silvia pulang dengan selamat. Kalau saya
tak menyelamatkannya, saya akan malu mengakui diri saya seorang pendekar karena
tidak bisa menyelamatkan seorang gadis!”
“Sekali bapak
bilang tidak ya tidak!” bentak Pak Eric dengan marah.
Aku yang kaget
langsung terdiam.
“Baiklah saya
tidak akan kesana.” Seruku sambil berjalan mendekati Pak Eric.
“Maafkan saya pak.”
“Maksud..argh”
belum selesai perkataan Pak Eric, tinju kerasku melayang tepat ke perutnya.
“Saya pasti akan
kembali selamat dengan Silvia.” Seruku sambil berlari meninggalkan Pak Eric.
Aku terus berlari
sekuat tenaga. Perasaan takut terus muncul dari benakku. Takut akan kehilangan Silvia,
dan takut karena aku harus melawan gerombolan preman agar bisa
menyelamatkannya.
Akhirnya tibalah
diriku di tempat yang dimaksud Pak Eric. Ku dengar teriakan menjerit ketakutan
suara seorang perempuan yang tak asing yaitu Silvia. Segera ku menerjang masuk
ke dalam. Aku disambut dengan tiga orang yang siap menyerangku. Segera kusambut
kembali mereka dengan tendangan tepat di kepala. Serangan tersebut cukup
efektif. Mereka semua terkapar jatuh. Kudatangi seorang dari mereka yang masih
sadar.
“Dimana perempuan
itu!?” tanyaku dengan nada marah.
“Sa-sa-saya tidak tahu...”
jawabnya ketakutan.
“Dimana!” bentakku
lebih keras lagi.
“Di-dia disekap di
ruang utama.”
Segera setelah ku
mengetahuinya aku berlari menerjang ke ruang utama.
“Yuki...” seru
Silvia tak berdaya tangannya terikat digantung.
“Silvia! Tenang
aku akan segera menolongmu.” Seruku sambil berlari.
Walau perasaanku
merasa aneh karena tidak ada yang menjaga. Perasaan itu terjawab. Segera dari
kegelapan muncul sesosok pria yang menyerangku dengan stungun. Lagi-lagi aku
kalah pintar dari mereka. Kali ini tidak mungkin ada ampun bagiku dari mereka
ketika aku melihat raut muka mereka. Aku takut, apakah aku akan mati disini
tidak bisa menyelamatkan seorang perempuan.
“Sekarang matilah kau anak ingusan!” kata pria
tersebut sambil mengarahkan pistol dari kantungnya ke kepalaku.
“Trang...”
tiba-tiba terdengar suara 2 benda bertabrakan memecah keheningan. Suara itu tak
lain tak bukan adalah bunyi tabrakan pistol tadi dengan sebuah batu berukuran
kira-kira sebesar satu kepal tangan.
“Siapa tadi yang
berani melempar!?” teriak pria tersebut.
Terlihatlah
sesosok bayangan seorang pria berdiri. Dia tak lain tak bukan Pak Eric.
“Yo... Yuki, lama
tak jumpa!”
“Pak... Eric, anda
tidak apa-apa?”
“Kamu pikir
pukulan seperti itu bisa membuatku pingsan ?”
“Eric! Beraninya,
beraninya kau menggangguku!” teriak pria tersebut.
“Yo David. Lama
tak jumpa. Kali ini akan kuhancurkan lagi kelompokmu, karena telah melukai
murid-muridku!”
“Coba saja kalau
kau bisa! Pasukan!” teriak David, memanggil pasukannya.
“Yuki tangkap! Kau
lawan David, aku akan menghabisi bawahannya!” seru Pak Eric sambil melempar
pedang kayuku kearahku.
“Ya, aku juga
punya dendam padanya karena telah berani melukai Silvia!”
“anak ingusan dan
guru sampah coba saja kalau kau bisa!” teriak David.
“Osu! Mari kita
selesaikan pertarungan ini!” teriakku dan Pak Eric.
Aku langsung
berlari menyerang David, begitu juga dengan Pak Eric. Pertempuran kami
berlangsung kurang lebih lima menit.
“Tch... anak
ingusan kau jago juga. Siapa namamu? Akan kukenang namamu sebelum kau kubunuh!”
kata David padaku.
“Aku tak berniat
untuk memberikan namaku pada seorang penjahat dan juga tak berniat untuk mati!”
teriakku.
“Kalau begitu
matilah kau anak ingusan!” seru David padaku.
“Tidak akan bisa!”
teriakku sambil berlari bersiap menusuknya.
“Dorr...”,”Jleb”
terdengar suara tembakan dan bunyi tusukan pedang.
Aku terjatuh tak
berdaya. Pedang kayuku tepat menusuk ke ulu hati David. Begitu pula peluru
David tertembak ke arah saku kemejaku.
Pak Eric yang baru
saja melepaskan ikatan Silvia segera berlari ke arahku dengan Silvia.
“Oi Yuki, Yuki!”
teriak Pak Eric.
“Yuki, kamu jangan
mati!” teriak Silvia sambil menangis.
Mendengar suara
mereka aku terbangun dari tidurku. Aku merogoh saku kemejaku dan menemukan
sebuah koin yang menahan tembakan peluru David.
“Huff... koin
penyelamat haha.” seruku.
“Yuki, kau
selamat.” Isak Silvia sambil memelukku.
“Ya, aku selamat.”
Kataku padanya.
“”Tolong jangan
tinggalkan aku lagi.” Katanya sambil menangis terisak-isak.
“Iya aku janji
tidak akan meninggalkanmu.” kataku padanya.
“Ehm...” suara Pak
Eric memecah suasana tersebut.
“Er... pak maksud
saya bukan begini eh begitu.” bela Silvia, sambil cepat-cepat melepaskan
pelukannya dariku dan mukanya memerah.
Diriku dan Silvia
saling menatap satu sama lain. Kami saling terdiam lalu tiba-tiba tertawa. Pak
Eric tersenyum melihat kami berdua.
Hari itu 30
Desember 2013 berakhir begitu saja dengan nyawaku yang nyaris hilang dua kali.
Tapi perasaan dan ingatan kami pada hari itu selalu kami ingat sampai sekarang.
Hari ini tanggal
17 Januari 2014. Aku bangun pagi. Menjalani kehidupanku seperti biasa seorang
siswa SMA kelas 3, dan juga sebagai seorang “Twin Dragon” sebutanku serta
Silvia setelah menghancur leburkan geng preman Setan Putih.
“Yo Silvia!”
seruku ketika melihat Silvia.
“Pagi Yuki!” salam
balik dari Silvia padaku.
“Jalan bareng yuk
ke sekolah!” ajakku pada Silvia sambil memegang tangannya.
Lalu kami berdua
terus berjalan bersama, menangis bersama, tertawa bersama sampai maut
memisahkan kami berdua.
Tamat